Just another free Blogger theme

"Ajar ilmu saking kamardikaning ati" di BLOGNYA Mas Tri Adi Susanto CGP 08

KEGIATAN PENDIDIKAN GURU PENGGERAK

  • Lokakarya
  • Pendampingan Individu

 KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 2.3
KESIMPULAN DAN REFLEKSI
COACHING UNTUK SUPERVISI AKADEMIK

 

a. Pemikiran reflektif terkait pengalaman belajar

Pada modul 2.3 saya mempelajari materi mengenai coaching untuk supervisi akademik. Adapun Coaching oleh Grant (1999) di didefinisikan sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee. Pada modul saya juga mempelajari mengenai perbedaan dari mentoring, konseling, fasilitasi dan training.


Materi selanjutnya yang saya pelajari adalah paradigma berpikir coaching yang terbagi menjadi 4 yakni 1) fokus pada cochee, 2) bersikap terbuka dan ingin tahu, 3) memiliki kesadaran diri, dan 4) mampu melihat peluang baru dan masa depan. Adapun prinsip coaching adalah kemitraan, proses kreatif, memaksimalkan potensi. Perbedaan fungsi pendukung dalam pemberdayaan manusia.

Untuk dapat menjadi coach yang baik harus memiliki kompetensi 1)  Kehadiran Penuh/Presence
2) Mendengarkan Aktif, 3)Mengajukan Pertanyaan Berbobot dan 4)Mendengarkan dengan RASA. Adapun percakapan yang digunakan pada coaching menggunakan Alur TIRTA (Tujuan, Identifikasi, Rencana Aksi , dan Tanggungjawab). Adapun alur TIRTA sendiri merupakan dikembangkan dari satu model umum coaching yang dikenal sangat luas dan telah banyak diaplikasikan, yaitu GROW model. GROW adalah kepanjangan dari GoalRealityOptions dan Will.

Pada setiap tahapan ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1.       Goal (Tujuan): coach perlu mengetahui apa tujuan yang hendak dicapai coachee dari sesi coaching ini,

2.       Reality (Hal-hal yang nyata): proses menggali semua hal yang terjadi pada diri coachee,

3.       Options (Pilihan): coach membantu coachee dalam memilah dan memilih hasil pemikiran selama sesi yang nantinya akan dijadikan sebuah rancangan aksi.

4.       Will (Keinginan untuk maju): komitmen coachee dalam membuat sebuah rencana aksi dan menjalankannya.

Perasaan saya setelah mempelajari modul 2.3 adalah saya merasa sedih, karena saya merasa masih banyak ilmu yang belum saya tahu. Saya merasa diri saya masih banyak kurang akan pengetahuan. Berdasarkan dari materi-matering baru menganai coaching dan alur TIRTA yang digunakan, saya menjadi lebih tau bagaimana seharusnya coaching untuk supervisi akademik diterapkan. Bagaimana membangun komunikasi sehingga membuat coachee menceritakan apapun permasalahan yang sedang dihadapi dengan tenang dan kekeluargaan. Berdasarkan hal itulah saya merasa sangat tertarik belajar mengenai caoaching dengan alur TIRTA, secara lebih dalam.

Setelah saya mempelajari dan mempraktikkan coachingb dengan alur TIRTA, maka saya menemukan kunci bahwa dengan praktik dengan menerapkan kompetensi yang harus dimiliki coach terhadap coachee yakni bisa hadir secara Penuh/Presence, mendengarkan secara aktif, mengajukan pertanyaan berbobot dan mendengarkan dengan RASA. sangat membantu saya ketika menjadi coach dalam coaching.

Coaching dengan menerapkan alur TIRTA, masih belum dapat saya terapkan secara optimal. Praktik dengan menggunakan alur TIRTA memang tidak mudah karena memancing coachee dengan menggunakan pertanyaan berbobot sehingga mengajak mengambil keputusan yang bertanggung jawab itu tidak mudah, dan menurut saya masih perlu membutuhkan banyak latihan.

Setelah mempelajari dan praktik coaching untuk supervisi akademik dengan menggunakan alur TIRTA saya merasa mampu untuk menjadi coach yang baik yakni mampu hadir secara penuh, mendengarkan secara aktif, dan mendengarkan dengan RASA. Dengan memiliki kompetensi tersebut saya merasa memiliki kematangan dalam kepribadian sehingga mampu berkomunikasi dan menjadi coach yang baik untuk sejawat saya.

B.  Analisis untuk implementasi dalam konteks CGP

Setelah saya mempelajari materi pada modul 2.3 Coaching untuk supervisi akademik saya menemukan konsep coaching bahwa dalam melakukan coaching pada supervisi akademik dapat diterapkan dengan alur TIRTA pada tahapan kegiatannya. Alur TIRTA tersebut yang akan membantu coach dalam mengoptimalkan kemampuan coachee dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Akan tetapi pada praktiknya yang menjadi pertanyaan saya selama praktik coaching menggunakan alur TIRTA adalah ketika coachee menanyakan solusi pada coach pada permasalahan yang dihadapainya. Pertanyaan lain yang cukup mengganggu berdasarkan analisa saya adalah mengenai tahapan Alur TIRTA apakah harus diterapkan secara runtut, dan harus sesuai dengan tahapannya.

Berdasarkan pada analisa dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul tersebut, maka simpulan saya adalah coaching dapat digunakan untuk supervisi akademik pada tahapan pasca supervisi akademik. Pada tahapan tersebut yang biasanya kepala sekolah menjadi supervisior bisa memposisikan diri sebagai coach, yang kemudian dalam praktiknya menggunakan alur TIRTA sehingga coachee dapat merasa lebih nayaman dan menemukan solusi sesuai dengan kemampuan yang telah dimilikinya.

Tantanngan-tantangan yang biasanya muncul pada saat melaksankanakan coaching adalah penyesuaian waktu antara coach dan cochee. Selain itu tantangan yang biasanya muncul adalah kondisi iklim bekerja salam sekolah yang belum terbiasa dengan coaching melalui tahapan alur TIRTA. Tantangan ini muncul karena belum adanya pemahaman sayang sama dengan kegiatan coaching dengan menggunakan alur TIRTA.

Solusi untuk menghadapi tantangan tersebut adalah dengan cara mensosialisasikan dan melakukan diseminasi baik kepada kepala sekolah maupun kepada guru mengenai coching untuk supervisi akademik dengan alur TIRTA dan menggunakannya dalam kegiatan supervisi akademik di sekolah. Melalui 2 solusi tersebut, harapannya guru dan kepala sekolah terbiasa menggunakan coaching dengan alur TIRTA.

 

C.  Keterhubungan

Sebelum mempelajari modul 2.3 yang saya pahami mengenai coaching adalah sama dengan supervisi. Coach saya pahami sama dengan supervisior. Jadi pemahaman saya segiatan supervisi akademik itu adalah termasuk pada coaching yang dilakukan pada tahapan pasca obervasi, dimana supervisior/ coach saya pahami memberikan solusi dan menilai dari coachee yang sedang dibina oleh supervisior.

Setelah saya memahami materi coaching ini, saya memahami bahwa coaching proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee. Untuk kedepannya, di lingkungan sekolah saya dapat diterapkan kegiatan coaching untuk supervisi akademik, karena dengan kolaborasi dan berfokus solusi dapat menjadi solusi untuk kegiatan supervisi akademik yang biasanya kaku akan mejadi lebih humanis, dan coaching dengan paradigma kemitraan dapat membantu keterlaksanaan supervisi akademik.

Praktik baik yang sudah saya laksanakan pada materi coaching untuk supervisi akademik adalah  dengan melakukan diseminasi kepada kepala sekolah dan rekan sejawat. Praktik baik lain adalah mempraktikkan coaching pada kegiatan supervisi akademik tentang pembelajaran di kelas bersama rekan sejawat saya satu MGMP sekolah dan rekan lintas mapel. Setelah melakukan praktik coaching dengan rekan sejawat, testimoni yang diberikan sejawat saya adalah penerapan coaching ini sangat membantu dalam mengoptimalkan potensi coachee dalam mengatasi permasalahan yang dihadapinya, coachee juga merasa senang dengan penerapan coaching dengan alur TIRTA karena tidak merasa di intervensi tetapi merasa diberikan ruang untuk mengkomunikasikan ide dan gagasannya.

Setelah saya mempelajari materi coaching dengan alur TIRTA, kemudian saya juga menambah wawasan saya dengan bertanya kepada pengawas sekolah yang juga merupakan fasilitator guru penggerak dan kemudian membaca teori Z dari William Auchi. Dari beberapa teori yang saya pelajari tersebut kemudian simpulan saya adalah bahwa keterampilan coaching ini memang harus dimiliki oleh soerang guru atau pemimimpin pembelajaran karena dengan menerapkan coaching di kelas maka seorang guru akan lebih dapat humanis dan dapat melihat perpsektif yang lebih luas sehingga di dalam memimpin pembelajaran juga dapat menjadi coach dalam pemeblajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial emosional.




0 comments:

Posting Komentar

Profil

Foto saya
Grobogan, Jawa Tengah, Indonesia
Saya, Tri Adi Susanto adalah seorang Kepala Sekolah di SD Negeri 1 Mlowokarangtalun Kecamatan Pulokulon Kabupaten Grobogan