KONEKSI ANTAR
MATERI MODUL 2.3
KESIMPULAN
DAN REFLEKSI
COACHING
UNTUK SUPERVISI AKADEMIK
a. Pemikiran reflektif terkait pengalaman belajar
Pada modul 2.3 saya mempelajari materi mengenai
coaching untuk supervisi akademik. Adapun Coaching oleh Grant (1999) di
didefinisikan sebagai
sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan
sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas
performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi
dari coachee. Pada modul saya juga mempelajari mengenai perbedaan
dari mentoring, konseling, fasilitasi dan training.
Materi selanjutnya yang
saya pelajari adalah paradigma berpikir coaching yang terbagi menjadi 4 yakni
1) fokus pada cochee, 2) bersikap terbuka dan ingin tahu, 3) memiliki kesadaran
diri, dan 4) mampu melihat peluang baru dan masa depan. Adapun prinsip coaching
adalah kemitraan, proses kreatif, memaksimalkan potensi. Perbedaan fungsi pendukung
dalam pemberdayaan manusia.
Untuk dapat menjadi coach yang baik harus memiliki
kompetensi 1) Kehadiran Penuh/Presence
2) Mendengarkan Aktif, 3)Mengajukan Pertanyaan Berbobot dan 4)Mendengarkan
dengan RASA. Adapun percakapan yang digunakan pada coaching menggunakan Alur
TIRTA (Tujuan, Identifikasi, Rencana Aksi , dan Tanggungjawab). Adapun alur
TIRTA sendiri merupakan dikembangkan dari satu model umum coaching yang
dikenal sangat luas dan telah banyak diaplikasikan, yaitu GROW model. GROW adalah
kepanjangan dari Goal, Reality, Options dan Will.
Pada setiap tahapan ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Goal (Tujuan): coach perlu
mengetahui apa tujuan yang hendak dicapai coachee dari
sesi coaching ini,
2.
Reality (Hal-hal yang nyata): proses menggali
semua hal yang terjadi pada diri coachee,
3.
Options (Pilihan): coach membantu coachee dalam
memilah dan memilih hasil pemikiran selama sesi yang nantinya akan dijadikan
sebuah rancangan aksi.
4.
Will (Keinginan untuk maju): komitmen coachee dalam
membuat sebuah rencana aksi dan menjalankannya.
Perasaan saya setelah
mempelajari modul 2.3 adalah saya merasa sedih, karena saya merasa masih banyak
ilmu yang belum saya tahu. Saya merasa diri saya masih banyak kurang akan
pengetahuan. Berdasarkan dari materi-matering baru menganai coaching dan alur
TIRTA yang digunakan, saya menjadi lebih tau bagaimana seharusnya coaching
untuk supervisi akademik diterapkan. Bagaimana membangun komunikasi sehingga
membuat coachee menceritakan apapun permasalahan yang sedang dihadapi dengan
tenang dan kekeluargaan. Berdasarkan hal itulah saya merasa sangat tertarik
belajar mengenai caoaching dengan alur TIRTA, secara lebih dalam.
Setelah saya mempelajari
dan mempraktikkan coachingb dengan alur TIRTA, maka saya menemukan kunci bahwa
dengan praktik dengan menerapkan kompetensi yang harus dimiliki coach terhadap
coachee yakni bisa hadir secara Penuh/Presence, mendengarkan secara
aktif, mengajukan pertanyaan berbobot dan mendengarkan
dengan RASA.
sangat membantu saya ketika menjadi coach dalam coaching.
Coaching dengan menerapkan
alur TIRTA, masih belum dapat saya terapkan secara optimal. Praktik dengan
menggunakan alur TIRTA memang tidak mudah karena memancing coachee dengan
menggunakan pertanyaan berbobot sehingga mengajak mengambil keputusan yang
bertanggung jawab itu tidak mudah, dan menurut saya masih perlu membutuhkan
banyak latihan.
Setelah mempelajari dan praktik coaching untuk supervisi akademik dengan menggunakan alur TIRTA saya merasa mampu untuk menjadi coach yang baik yakni mampu hadir secara penuh, mendengarkan secara aktif, dan mendengarkan dengan RASA. Dengan memiliki kompetensi tersebut saya merasa memiliki kematangan dalam kepribadian sehingga mampu berkomunikasi dan menjadi coach yang baik untuk sejawat saya.
B. Analisis untuk implementasi dalam konteks CGP
Setelah saya mempelajari materi pada modul 2.3
Coaching untuk supervisi akademik saya menemukan konsep coaching bahwa dalam
melakukan coaching pada supervisi akademik dapat diterapkan dengan alur TIRTA
pada tahapan kegiatannya. Alur TIRTA tersebut yang akan membantu coach dalam
mengoptimalkan kemampuan coachee dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi.
Akan tetapi pada praktiknya yang menjadi pertanyaan saya selama praktik
coaching menggunakan alur TIRTA adalah ketika coachee menanyakan solusi pada
coach pada permasalahan yang dihadapainya. Pertanyaan lain yang cukup
mengganggu berdasarkan analisa saya adalah mengenai tahapan Alur TIRTA apakah
harus diterapkan secara runtut, dan harus sesuai dengan tahapannya.
Berdasarkan pada analisa dan pertanyaan-pertanyaan
yang muncul tersebut, maka simpulan saya adalah coaching dapat digunakan untuk
supervisi akademik pada tahapan pasca supervisi akademik. Pada tahapan tersebut
yang biasanya kepala sekolah menjadi supervisior bisa memposisikan diri sebagai
coach, yang kemudian dalam praktiknya menggunakan alur TIRTA sehingga coachee
dapat merasa lebih nayaman dan menemukan solusi sesuai dengan kemampuan yang
telah dimilikinya.
Tantanngan-tantangan yang biasanya muncul pada saat
melaksankanakan coaching adalah penyesuaian waktu antara coach dan cochee.
Selain itu tantangan yang biasanya muncul adalah kondisi iklim bekerja salam
sekolah yang belum terbiasa dengan coaching melalui tahapan alur TIRTA.
Tantangan ini muncul karena belum adanya pemahaman sayang sama dengan kegiatan
coaching dengan menggunakan alur TIRTA.
Solusi untuk menghadapi tantangan tersebut adalah
dengan cara mensosialisasikan dan melakukan diseminasi baik kepada kepala
sekolah maupun kepada guru mengenai coching untuk supervisi akademik dengan
alur TIRTA dan menggunakannya dalam kegiatan supervisi akademik di sekolah.
Melalui 2 solusi tersebut, harapannya guru dan kepala sekolah terbiasa
menggunakan coaching dengan alur TIRTA.
C. Keterhubungan
Sebelum mempelajari modul 2.3 yang saya pahami
mengenai coaching adalah sama dengan supervisi. Coach saya pahami sama dengan
supervisior. Jadi pemahaman saya segiatan supervisi akademik itu adalah
termasuk pada coaching yang dilakukan pada tahapan pasca obervasi, dimana
supervisior/ coach saya pahami memberikan solusi dan menilai dari coachee yang
sedang dibina oleh supervisior.
Setelah saya memahami materi coaching ini, saya
memahami bahwa coaching proses
kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis,
dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa
kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee. Untuk
kedepannya, di lingkungan sekolah saya dapat diterapkan kegiatan coaching untuk
supervisi akademik, karena dengan kolaborasi dan berfokus solusi dapat menjadi
solusi untuk kegiatan supervisi akademik yang biasanya kaku akan mejadi lebih
humanis, dan coaching dengan paradigma kemitraan dapat membantu keterlaksanaan
supervisi akademik.
Praktik baik yang sudah saya laksanakan pada materi coaching untuk supervisi akademik adalah dengan melakukan diseminasi kepada kepala sekolah dan rekan sejawat. Praktik baik lain adalah mempraktikkan coaching pada kegiatan supervisi akademik tentang pembelajaran di kelas bersama rekan sejawat saya satu MGMP sekolah dan rekan lintas mapel. Setelah melakukan praktik coaching dengan rekan sejawat, testimoni yang diberikan sejawat saya adalah penerapan coaching ini sangat membantu dalam mengoptimalkan potensi coachee dalam mengatasi permasalahan yang dihadapinya, coachee juga merasa senang dengan penerapan coaching dengan alur TIRTA karena tidak merasa di intervensi tetapi merasa diberikan ruang untuk mengkomunikasikan ide dan gagasannya.
Setelah saya mempelajari materi coaching dengan alur TIRTA, kemudian saya juga menambah wawasan saya dengan bertanya kepada pengawas sekolah yang juga merupakan fasilitator guru penggerak dan kemudian membaca teori Z dari William Auchi. Dari beberapa teori yang saya pelajari tersebut kemudian simpulan saya adalah bahwa keterampilan coaching ini memang harus dimiliki oleh soerang guru atau pemimimpin pembelajaran karena dengan menerapkan coaching di kelas maka seorang guru akan lebih dapat humanis dan dapat melihat perpsektif yang lebih luas sehingga di dalam memimpin pembelajaran juga dapat menjadi coach dalam pemeblajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial emosional.
0 comments:
Posting Komentar